1. KAPRIBADEN
Pada
tanggal 29 April 1978, dihadapan 5 orang Putro, Romo menerbitkan satu-satunya
Sabdo Tinulis, dengan huruf Jawa (Honocoroko), yang berbunyi “ROMO Mangestoni,
Putro-Putro Kudu Ngakoni Putro ROMO” Sekalipun Putro yang menghadap waktu itu 5
(lima) orang, yaitu Dr. Wahyono Raharjo GSW, MBA (Alm), Ibu Hartini Wahyono,
Drs. Soehirman, S. Parmin (Alm) dan Sakir. Tetapi Romo menyebut yang menghadap
4 orang, karena Wahyono dan Istrinya, bagi Romo selalu dihitung satu. Bahkan
beliau dawuh, kalau yang sowan saat itu tidak ada wanitanya, maka akan
ditinggal tidur oleh Romo.
Sabdo
tinulis itu ditulis pada tutup kue dadar-gulung berwarna merah-putih.
Penjelasan Romo : “ditulis ono tutup, kareban Putro-Putro podo nyawang
mengisor, sebab Putro-Putro isih pada nyawang menduwur. Ben podo nyawang sing
urip ono ngisor kreteg”. Putro Putro yang sowan didawuhi memperbanyak sabda
tinulis itu dan menyebar-luaskan ke semua Putro.
Putro Putro yang menghadap saat itu mohon
petunjuk cara ”ngakoni Putro Romo”. Dan Romo ndawuhi membentuk Paguyuban yang
kemudian bernama Paguyuban Penghayat Kapribaden. Sesuai dengan KTP Romo Semono
maupun ibu Tumirin, tertulis Kapribaden.
Dr. Wahyono sampai 3 kali menolak, dengan
alasan : “mangke mboten wurung nami / wahyono pun dhadhosaken ontran-ontran ing
kalangan Putro Putro”. Kemudian Romo dawuh : “Siro ora pareng nolak, amorgo iki
wis dikersakake Moho Suci”. Maka dengan sangat berat Dr. Wahyono akhirnya
menyatakan sanggup. Dr. Wahyono mengemukakan syarat atau permintaan kepada Romo
: “Dalem sagah, nanging nyuwun Romo Dhawuhi langsung Putro Putro, supados
sampun ngantos Putro Putro nginten wontenipun paguyuban saking kajengipun
Wahyono” Romo menyanggupi (bisa di cek
melalui Bapak S. Soenarjo, Surabaya. Beliau langsung didawuhi Romo, tidak
melalui Dr. Wahyono, bahkan kemudian Romo
sendiri membagi-bagikan formulir bagi Putro-Putro)
Sewaktu 5 orang Putro yang sowan itu pamit
pulang, sampai di depan kamarnya Romo Semono, lengan Dr. Wahyono beliau pegang
dan disuruh menunggu di depan kamar Romo Semono. Ternyata beliau mengambil
sesuatu yang dibungkus kain merah. Kain merah pembungkusnya beliau buang di
lantai. Ternyata isinya sebatang tongkat berwarna coklat kehitam-hitaman.
Tongkat itu ternyata dari Galih Kelor. Lalu beliau berikan kepada Dr. Wahyono
dengan disertai sabdo : “Iki tongkat komando, jeneng siro wis ngerti tegese.
Sopo wae sing mbangkang, sektiyo, Digdhayoa koyo ngopo, mbok dhudhul iki mesti
modar. Siro ora usah was sumelang amargo sakabeheing bolo sirolah bakal
sabiyantu marang jeneng siro. Iki sabdane Moho Suci, Tampanana” dari 4 orang
yang berdiri di belakang Dr. Wahyono, saat itu ada 2 orang yang terlempar
sampai membentur dinding di seberang.
Persiapan persiapan dilakukan. Saat itu
sangat berat dan sulit, mengingat keberadaan Putro Romo masih dilarang oleh
pihak pemerintah Orde Baru. (kemudian baru diketahui bahwa alasan sebenarnya
adalah karena Bung Karno adalah Putro Romo, sehingga Romo Semono dicap sebagai
gurunya Soekarno). Jadi berbagai langkah strategis dan taktis terpaksa
dilakukan, dan akhirnya Paguyuban Penghayat Kapribaden bisa diresmikan
berdirinya. Upacara ritual dilakukan di Sanggar Sasono Adiroso, sedang
upacaranya di Anjungan Mataram Taman Mini Indonesia Indah. Tepatnya malam Senen
Pahing 30 Juli 1978.
Sebelum peresmian, Putro Putro Jakarta sowan
Romo dulu untuk mohon petunjuk.Kemudian, Dr. Wahyono diantar Bapak S. Hoetomo,
menggunakan kendaraan kadhang Hendra Yudianto, yang juga ikut, 2 bulan keliling
ke daerah-daerah, tanpa pulang, untuk membentuk Paguyuban di daerah-daerah,
sekaligus mengantarkan pengurus di daerah mendaftar ke 5 instansi pemerintah.
Kalau provinsi ke 7 instansi, Pusat ke 9 instansi. Ini agar Kapribaden diakui
sah menurut Undang-Undang Negara. Tidak hanya resmi diakui Pemerintah.Kemudian
dengan wadah Paguyuban Penghayat Kapribaden, bisa dipaparkan Paringan dan
Wulang Wuluk Romo (secara umum disebut ajaran), sehingga diakui sah, yang
berarti sah kalau dijalani, disampaikan kepada orang lain, di wilayah hukum
Republik Indonesia.
Struktur organisasi Penghayat Kapribaden
menurut data terakhir terdiri atas Pinisepuh Dr. Wahyono Raharjo; Ketua
Soedardi, Sekretaris Sumadi Wijaya, Bendahara Sakijan. Pusat Paguyuban berada
di kompleks Masjid, RT 10/04 Jl. Buchari Sukarjo no. 9 Ds. Limo Cinere, dan
cabangnya berjumlah 13 yang berada di Jakarta Timur, Kota Malang, Pemalang,
Pekalongan, Demak, Kota Semarang, Klaten, Karanganyar, Sukoharjo, Magelang,
Jepara dan Cilacap, serta Surabaya. Menurut catatan terakhir, anggotanya
mencapai 4182 yang berasal dari berbagai kalangan dan tersebar di Jakarta, Jawa
Tengah dan Jawa Timur.
Saptodarmo
Kepercayaan
Sapta Darma Indonesia berdiri secara resmi pada tanggal 12 Juli 1965 dengan
Ketua Raboen Sutrisno. Nama Kepercayaan Sapta Darma mempunyai arti tersendiri.
Kepercayaan berarti dipercaya/diyakini, dihayati dan diamalkan. Sapta berarti
tujuh, Darma berarti kewajiban suci atau luhur atau wajib melaksanakan suatu
perbuatan baik ucapan maupun tindakan yang bersifat amal dan keturunan.
Kepercayaan Sapta Darma berarti mempunyai tujuh ayat wewarah suci dan luhur
yang diwahyukan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk dihayati sebagai tuntunan hidup
manusia dalam mencapai ketentraman, kebahagiaan, dan kesempurnaan di dunia
sampai di akhirat.
Kepercayaan
Sapta Darma Indonesia pertama kali diterima Hardjosepuro yang bernama asli
Legiman alias Sapuro di kampung Pandean, Desa Pare, Kabupaten Kediri, Jawa
Timur. Hardjosepuro adalah putra dari Rakiman dan Sulijah. Setelah dewasa ia
ikut membela negara dengan menjadi anggota Staf Pertahanan Rakyat, yang
dilanjutkan menjadi anggota Comando Onder Distrik Militer. Akan tetapi setelah
perang selesai, ia kembali menjadi warga biasa dan mula bekerja sebagai
pedagang. Ia meninggal pada tanggal 16 Desember 1964 dan dikremasi tanggal 18
Desember 1964 di Kembang Kuning Surabaya. Abunya dilarung ke laut Kenjeran,
Surabaya tanggal 20 Desember 1964. Akan tetapi menurut cerita pengikutnya
ketika dibawa ke Surabaya untuk dikremasi, kendaraannya mengalami mogok di
daerah Trowulan beberapa saat, dan setelah petinya dibuka ternyata beliau sudah
tidak ada, sehingga keyakinan anggotanya yang dikremasi adalah peti jenasahnya
saja.
Ajaran
Sapta Darma Indonesia yang diterima dalam bentuk wahyu berupa (1) wangsit
ajaran sujud kepada Tuhan Yang Maha esa pada tanggal 27-28 Desember 1952 haru
Jumat Wage malam sabtu Kliwon antara pukul 24.00 – 05.00, (2) wangsit ajaran
Racut pada tanggal 13 Pebruari 1953 hari Jumat Pon pukul 11.00, (3) wangsit
simbol ajaran berupa lambang pribadi manusia, wewarah tujuah, dan sesanti pada
tanggal 12 Juli 1954 hari Senin Paing pukul 11.00, (4) wangsit gelar Sri Gutama
dan Penuntun Agung Sapta Darma pada tanggal 27 Desember 1955 hari Selasa Kliwon
pukul 24.00. Penerimaan wahyu pertama membuat ia dapat melihat hal-hal yang
tidak kasat mata, dapat menyembuhkan orang sakit dan mulai memiliki kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Kepercayaan
Sapta Darma Indonesia mempunyai lambang (1) bentuk belah ketupat yang
melambangkan asal usul manusia dari empat unsur, yaitu sudut alas melambangkan
cahaya Allah, sudut bawah melambangkan sari-sari bumi, sudut kiri dan kanan
melambangkan perantara (ayah dan ibu), (2) bingkai bewarna hijau tua yang
merupakan lambang wadah atau bleger jasmani/badan, (3) warna hijau muda di
bingkai melambangkan setiap kehidupan jasmani diliputi zat hidup atau cahaya
Allah atau getaran hawa, (4) garus warna kuning berbentuk segitiga sama sisi
dan sebangun yang melambangkan proses terjadinya manusia dari tiga nsur Tri
Tunggal, yaitu rasa ayah, rasa ibu dan cahaya Allah. (5) lingkaran warna
hitam/tanah, merah/api dan putih/air, (6) gambar semar di tengah lingkaran yang
melambangkan dalam setiap pribadi manusia ada roh suci yang disebut Hyang Maha
Suci, setiap anggota bersikap dan
berjiwa satria,berbudi luhur, menjaga ketentraman,rendah hati, mengalah, tidak
sombong, dapat mengendalikan diri, mawas diri, menaati ajaran Sapta Darma, dan
jujur seperti Semar yang sebenarnya Dewa yang berujud manusia.
Organisasi
ini berpusat di Jalan Darmo Permai Selatan XI/51 Surabaya. Anggota organisasi
pusat berjumlah 300 orang dan cabang tersebar
di Tuban, Bojonegoro,Nganjuk,Madiun, Caruban,Kediri, Blitar, Malang,
Lamongan, Sidoarjo, Gresik dan Surabaya. Anggota organisasi ini tidak terbatas
pada lapisan manapun. Pada saat ini diperkirakan jumlah anggota mencapai 4000
jiwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar