Rabu, 22 Agustus 2012

SEJARAH ORGANISASI PENGHAYAT

SEJARAH ORGANISASI PENGHAYAT KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG ESA

1. KAPRIBADEN


Pada tanggal 29 April 1978, dihadapan 5 orang Putro, Romo menerbitkan satu-satunya Sabdo Tinulis, dengan huruf Jawa (Honocoroko), yang berbunyi “ROMO Mangestoni, Putro-Putro Kudu Ngakoni Putro ROMO” Sekalipun Putro yang menghadap waktu itu 5 (lima) orang, yaitu Dr. Wahyono Raharjo GSW, MBA (Alm), Ibu Hartini Wahyono, Drs. Soehirman, S. Parmin (Alm) dan Sakir. Tetapi Romo menyebut yang menghadap 4 orang, karena Wahyono dan Istrinya, bagi Romo selalu dihitung satu. Bahkan beliau dawuh, kalau yang sowan saat itu tidak ada wanitanya, maka akan ditinggal tidur oleh Romo.
Sabdo tinulis itu ditulis pada tutup kue dadar-gulung berwarna merah-putih. Penjelasan Romo : “ditulis ono tutup, kareban Putro-Putro podo nyawang mengisor, sebab Putro-Putro isih pada nyawang menduwur. Ben podo nyawang sing urip ono ngisor kreteg”. Putro Putro yang sowan didawuhi memperbanyak sabda tinulis itu dan menyebar-luaskan ke semua Putro.
 Putro Putro yang menghadap saat itu mohon petunjuk cara ”ngakoni Putro Romo”. Dan Romo ndawuhi membentuk Paguyuban yang kemudian bernama Paguyuban Penghayat Kapribaden. Sesuai dengan KTP Romo Semono maupun ibu Tumirin, tertulis Kapribaden.
 Dr. Wahyono sampai 3 kali menolak, dengan alasan : “mangke mboten wurung nami / wahyono pun dhadhosaken ontran-ontran ing kalangan Putro Putro”. Kemudian Romo dawuh : “Siro ora pareng nolak, amorgo iki wis dikersakake Moho Suci”. Maka dengan sangat berat Dr. Wahyono akhirnya menyatakan sanggup. Dr. Wahyono mengemukakan syarat atau permintaan kepada Romo : “Dalem sagah, nanging nyuwun Romo Dhawuhi langsung Putro Putro, supados sampun ngantos Putro Putro nginten wontenipun paguyuban saking kajengipun Wahyono” Romo menyanggupi  (bisa di cek melalui Bapak S. Soenarjo, Surabaya. Beliau langsung didawuhi Romo, tidak melalui Dr. Wahyono, bahkan kemudian Romo  sendiri membagi-bagikan formulir bagi Putro-Putro)
    Sewaktu 5 orang Putro yang sowan itu pamit pulang, sampai di depan kamarnya Romo Semono, lengan Dr. Wahyono beliau pegang dan disuruh menunggu di depan kamar Romo Semono. Ternyata beliau mengambil sesuatu yang dibungkus kain merah. Kain merah pembungkusnya beliau buang di lantai. Ternyata isinya sebatang tongkat berwarna coklat kehitam-hitaman. Tongkat itu ternyata dari Galih Kelor. Lalu beliau berikan kepada Dr. Wahyono dengan disertai sabdo : “Iki tongkat komando, jeneng siro wis ngerti tegese. Sopo wae sing mbangkang, sektiyo, Digdhayoa koyo ngopo, mbok dhudhul iki mesti modar. Siro ora usah was sumelang amargo sakabeheing bolo sirolah bakal sabiyantu marang jeneng siro. Iki sabdane Moho Suci, Tampanana” dari 4 orang yang berdiri di belakang Dr. Wahyono, saat itu ada 2 orang yang terlempar sampai membentur dinding di seberang.
  Persiapan persiapan dilakukan. Saat itu sangat berat dan sulit, mengingat keberadaan Putro Romo masih dilarang oleh pihak pemerintah Orde Baru. (kemudian baru diketahui bahwa alasan sebenarnya adalah karena Bung Karno adalah Putro Romo, sehingga Romo Semono dicap sebagai gurunya Soekarno). Jadi berbagai langkah strategis dan taktis terpaksa dilakukan, dan akhirnya Paguyuban Penghayat Kapribaden bisa diresmikan berdirinya. Upacara ritual dilakukan di Sanggar Sasono Adiroso, sedang upacaranya di Anjungan Mataram Taman Mini Indonesia Indah. Tepatnya malam Senen Pahing 30 Juli 1978.
  Sebelum peresmian, Putro Putro Jakarta sowan Romo dulu untuk mohon petunjuk.Kemudian, Dr. Wahyono diantar Bapak S. Hoetomo, menggunakan kendaraan kadhang Hendra Yudianto, yang juga ikut, 2 bulan keliling ke daerah-daerah, tanpa pulang, untuk membentuk Paguyuban di daerah-daerah, sekaligus mengantarkan pengurus di daerah mendaftar ke 5 instansi pemerintah. Kalau provinsi ke 7 instansi, Pusat ke 9 instansi. Ini agar Kapribaden diakui sah menurut Undang-Undang Negara. Tidak hanya resmi diakui Pemerintah.Kemudian dengan wadah Paguyuban Penghayat Kapribaden, bisa dipaparkan Paringan dan Wulang Wuluk Romo (secara umum disebut ajaran), sehingga diakui sah, yang berarti sah kalau dijalani, disampaikan kepada orang lain, di wilayah hukum Republik Indonesia.
      Struktur organisasi Penghayat Kapribaden menurut data terakhir terdiri atas Pinisepuh Dr. Wahyono Raharjo; Ketua Soedardi, Sekretaris Sumadi Wijaya, Bendahara Sakijan. Pusat Paguyuban berada di kompleks Masjid, RT 10/04 Jl. Buchari Sukarjo no. 9 Ds. Limo Cinere, dan cabangnya berjumlah 13 yang berada di Jakarta Timur, Kota Malang, Pemalang, Pekalongan, Demak, Kota Semarang, Klaten, Karanganyar, Sukoharjo, Magelang, Jepara dan Cilacap, serta Surabaya. Menurut catatan terakhir, anggotanya mencapai 4182 yang berasal dari berbagai kalangan dan tersebar di Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Saptodarmo
 
Kepercayaan Sapta Darma Indonesia berdiri secara resmi pada tanggal 12 Juli 1965 dengan Ketua Raboen Sutrisno. Nama Kepercayaan Sapta Darma mempunyai arti tersendiri. Kepercayaan berarti dipercaya/diyakini, dihayati dan diamalkan. Sapta berarti tujuh, Darma berarti kewajiban suci atau luhur atau wajib melaksanakan suatu perbuatan baik ucapan maupun tindakan yang bersifat amal dan keturunan. Kepercayaan Sapta Darma berarti mempunyai tujuh ayat wewarah suci dan luhur yang diwahyukan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk dihayati sebagai tuntunan hidup manusia dalam mencapai ketentraman, kebahagiaan, dan kesempurnaan di dunia sampai di akhirat.
Kepercayaan Sapta Darma Indonesia pertama kali diterima Hardjosepuro yang bernama asli Legiman alias Sapuro di kampung Pandean, Desa Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Hardjosepuro adalah putra dari Rakiman dan Sulijah. Setelah dewasa ia ikut membela negara dengan menjadi anggota Staf Pertahanan Rakyat, yang dilanjutkan menjadi anggota Comando Onder Distrik Militer. Akan tetapi setelah perang selesai, ia kembali menjadi warga biasa dan mula bekerja sebagai pedagang. Ia meninggal pada tanggal 16 Desember 1964 dan dikremasi tanggal 18 Desember 1964 di Kembang Kuning Surabaya. Abunya dilarung ke laut Kenjeran, Surabaya tanggal 20 Desember 1964. Akan tetapi menurut cerita pengikutnya ketika dibawa ke Surabaya untuk dikremasi, kendaraannya mengalami mogok di daerah Trowulan beberapa saat, dan setelah petinya dibuka ternyata beliau sudah tidak ada, sehingga keyakinan anggotanya yang dikremasi adalah peti jenasahnya saja.
Ajaran Sapta Darma Indonesia yang diterima dalam bentuk wahyu berupa (1) wangsit ajaran sujud kepada Tuhan Yang Maha esa pada tanggal 27-28 Desember 1952 haru Jumat Wage malam sabtu Kliwon antara pukul 24.00 – 05.00, (2) wangsit ajaran Racut pada tanggal 13 Pebruari 1953 hari Jumat Pon pukul 11.00, (3) wangsit simbol ajaran berupa lambang pribadi manusia, wewarah tujuah, dan sesanti pada tanggal 12 Juli 1954 hari Senin Paing pukul 11.00, (4) wangsit gelar Sri Gutama dan Penuntun Agung Sapta Darma pada tanggal 27 Desember 1955 hari Selasa Kliwon pukul 24.00. Penerimaan wahyu pertama membuat ia dapat melihat hal-hal yang tidak kasat mata, dapat menyembuhkan orang sakit dan mulai memiliki kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Kepercayaan Sapta Darma Indonesia mempunyai lambang (1) bentuk belah ketupat yang melambangkan asal usul manusia dari empat unsur, yaitu sudut alas melambangkan cahaya Allah, sudut bawah melambangkan sari-sari bumi, sudut kiri dan kanan melambangkan perantara (ayah dan ibu), (2) bingkai bewarna hijau tua yang merupakan lambang wadah atau bleger jasmani/badan, (3) warna hijau muda di bingkai melambangkan setiap kehidupan jasmani diliputi zat hidup atau cahaya Allah atau getaran hawa, (4) garus warna kuning berbentuk segitiga sama sisi dan sebangun yang melambangkan proses terjadinya manusia dari tiga nsur Tri Tunggal, yaitu rasa ayah, rasa ibu dan cahaya Allah. (5) lingkaran warna hitam/tanah, merah/api dan putih/air, (6) gambar semar di tengah lingkaran yang melambangkan dalam setiap pribadi manusia ada roh suci yang disebut Hyang Maha Suci, setiap anggota  bersikap dan berjiwa satria,berbudi luhur, menjaga ketentraman,rendah hati, mengalah, tidak sombong, dapat mengendalikan diri, mawas diri, menaati ajaran Sapta Darma, dan jujur seperti Semar yang sebenarnya Dewa yang berujud manusia.
Organisasi ini berpusat di Jalan Darmo Permai Selatan XI/51 Surabaya. Anggota organisasi pusat berjumlah 300 orang dan cabang tersebar  di Tuban, Bojonegoro,Nganjuk,Madiun, Caruban,Kediri, Blitar, Malang, Lamongan, Sidoarjo, Gresik dan Surabaya. Anggota organisasi ini tidak terbatas pada lapisan manapun. Pada saat ini diperkirakan jumlah anggota mencapai 4000 jiwa.